Just another free Blogger theme

Wednesday, 14 November 2018


Media Maya-Belajar pada alam itu artinya tidak hanya memaknai alam pemberi sebagai kehidupan melainkan juga sebuah buku.

Kita mungkin harus membuka berlembar-lembar buku untuk tahu sebuah ilmu pengetahuan. Akan tetapi dengan menjelajahi alam atau dengan kata lain pergi merantau kita akan tahu banyak hal.

Alam ini sangat luas dan jika kita mau berjalan di atasnya, maka kita bisa tahu banyak ilmu pengetahuan ibarat kalau kamu tidak pernah membuka buku, niscaya kamu tidak akan dapat ilmu. Sementara jika tidak pernah berjalan di muka bumi kita tidak akan pernah tahu betapa luas dunia ini.

Waktu itu, saya belum mengenal aplikasi media sosial sebut saja friendsters, yahoo messengers atau black blackberry messengers apalagi facebook, twitter, path, youtube hingga whatsApp.  Jadi pertama kalinya saya di tanah perantauan merasakan seperti apa rasanya frustrasi karena bingung membalas chatting saking banyaknya group. Bahkan tidak mempunyai akun medsos instragram.

Jadi perantau saat itu belum bisa update status. Serta para warganet secara leluasa memberi komentar atau sekedar memberi nilai. 

Saat itu belum tercipta smartphone kepergian ke tanah rantau terasa benar-benar membuat sedih di hati.
Alih-alih mengerti dunia milenial, kalau kita pernah membaca buku-buku sejarah dan atau banyak atau malah bertanya ke mbah google, baru akan tahu bahwa nenek moyang orang Indonesia itu konon katanya pelaut.

Tidak salah perjalanan jauh ke tanah rantau pada masa itu satu-satunya moda tranportasi yang terjangkau untuk melakukan perjalanan adalah kapal laut, jalur laut merupakan daya tarik sendiri bagi perantau kala itu untuk datang dari satu tempat ke tempat lain dengan misi yang berbeda-beda, ada yang berdagang, ada yang ingin menguasai suatu tempat akrab dikenal Preman, ada mencari sesuatu pekerjaan sedapatnya, ada yang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil. Dimana untuk menjadi PNS atau ASN zaman dulu tidak sesulit jaman now! 

Dan itu tidak salah, sebab di era industri 4.0 sekarang SDM dituntut lebih profesional dan melek teknologi. Lebih menonjolkan kualitas ketimbang isi dalam tas.

Yang jelas saat itu, tahun 1995 saya pergi merantau ke Ujung Pandang sekarang berganti nama Makassar belum bisa naik pesawat terbang, lantaran belum mampu menjangkau harga tiket pesawat. 

Saat itu saya merantau dengan menggunakan kapal laut menyeberangi pulau mengarungi laut membelah ganasnya terjangan ombak Masalembo yang pernah menelan korban penumpang kapal laut Tampomas II. 

Kapal Tampomas II pada saat itu bertolak dari Tanjung Priok menuju Ujung Pandang. Pada 27 Januari 1981, dilansir laman online Seluruh penumpang Kapal Tampomas II yang terdaftar berjumlah 1.054 orang, ditambah dengan 82 awak kapal. Namun diperkirakan total penumpang berjumlah 1.442 orang, termasuk sejumlah penumpang gelap. 

Tim penyelamat memperkirakan 431 orang tewas (143 jenazah ditemukan dan 288 orang hilang bersama kapal), sementara 753 orang berhasil diselamatkan.

Perjalanan tidak mudah, perantau jadul atau jaman dulu hubungan keluarga bener-bener terputus karena itu ada istilah merantau tanpa kembali. Jadi komunikasi betul-betul terputus kalaupun mau berkirim kabar satu-satunya cara melalui menulis surat.

Selain surat komunikasi memakai jasa warung telekomunikasi atau wartel, jaman dulu telepon genggam masih tergolong barang tersier. Seiring perjalanan waktu tulis menulis suratpun lenyap bak ditelan bumi.

Berbeda jauh dengan perantau zaman sekarang, tersedia telepon genggam berbasis android dan sudah menjelma sebagai gkebutuhan primer. Persaingan merek dagang ponsel atau telepon genggam memudahkan seseorang memiliki lebih dari satu unit telepon pintar.

Belum lagi, zaman sekarang sudah ada layanan yang namanya video call, Skype dan google Duo sehingga segala bentuk rasa kangen, rindu dengan orang-orang tersayang, tercinta, terobati dengan mudah.

Jika dulu butuh berhari-hari untuk sampai di rantau sekarang keberadaan pesawat memperpendek jarak tempuh.
Selain mudah dan cepat harga tiket saat ini terbilang masih terjangkau kalangan menengah ke atas. Misalnya ke Makassar menuju Surabaya menggunakan pesawat terbang hanya menempuh waktu 1 jam 30 menit.
Apabila memilih muda transportasi laut untuk sampai ke Surabaya kita harus bermalam di tengah laut lebih kurang 12 jam perjalanan laut. 

Bayangkan betapa beruntungnya perantau jaman sekarang semua serba mudah tidak perlu mengeluh, tidak usah bergaduh yang jauh terasa dekat. 
Belum lagi untuk mereka yang banyak uang atau menikmati fasilitas negara pulang ke kampung halaman mudahnya seperti pergi buang air besar saja. 

Merantau itu tidak mudah mulai dari niat banyak onak duri akan dilalui di tanah rantau tanpa keluarga, jauh sanak saudara, semua dilakukan sendiri atau mandiri. 

Perantau itu harus tahan banting, jangan mudah dipengaruhi oleh perbuatan yang merugikan niat baik perantau itu sendiri, percaya pada diri sendiri bermental baja, jangan baper (terbawa perasaan), jangan bermental kerupuk agar tidak mudah di remuk-remuk. Bahasa ekstremnya mati pun jasad kita tidak ada yang menangisi.

Terpenting harus survive atau bertahan hidup di perantauan dan tidak akan membuat para perantau galau,  berani hijrah dari zona nyaman buat menjemput impian.
Categories: , ,


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 Comments:

Post a Comment