Mencegah lebih murah dari mengobati karena kesehatan itu mahal. Keberadaan mereka terancam ketika penyakit kronis tak terobati. Paradoks ini mempertegas bahwa “orang miskin dilarang sakit”.
Ongkos obat dan rumah sakit membumbung tinggi tanpa kontrol. saat ini indonesia sedang mengalami krisis financial seiring fluktuasi labil ekonomi. Dengan adanya berbagai jenis penyakit dari jenis ringan hingga berat membuat banyak pihak pandai meraup untung.
Sistem kesehatan yang tak adil dan diskriminatif, orang miskinlah aktor utama korban dari sistem kesehatan yang diktator ini. Hanya orang-orang kaya saja berhak mendapatkan fasilitas layanan kelas wahid, sedangkan kaum marjinal hanya mendapatkan fasilitas dan layanan bangsal kelas melati bercampur “limbah medis”. Kelebihan sumberdaya dokter spesialis di indonesia tidak mengurangi animo selebriti/pejabat publik menyembuhkan diri ke negara tetangga demi memenuhi kebutuhan kenyamanan para medis dalam melayani pasien berduit, perilaku seperti ini seringkali aspek kemiskinan selalu dikambing hitamkan.
Pembangunan gedung-gedung mewah sebuah rumah sakit swasta maupun pemerintah tidak menambah baik layanan kesehatan, berlarut-larutnya layanan asuransi jaminan kesehatan mengakibatkan kaum marjinal kehilangan hak memperoleh layanan terbaik, kecuali konsultasi dengan dokter praktek karena disitulah memperoleh layanan layak manusiawi.
Sejalan dengan semakin menurunnya kualitas kesehatan, perilaku manusia cenderung kalap terhadap budaya konsumtif egosentris memperkaya diri, tidak ada salahnya memperkaya diri selama harta yang diperoleh secara benar tidak menyakiti hati orang lain, selama ini belum ada cerminan masyarakat untuk berprilaku peduli terhadap sesama.
Kedahsyatan buku Orang Miskin Dilarang Sakit karya Eko Prasetyo terbitan resist book menjadi inspirasi saya untuk melanjutkan perjuangan beliau (Eko) menyuarakan hak kaum akar rumput. Dengan situasi saat ini pantas kiranya Orang Kaya Saja Boleh Sakit, karena selama ini rakyat jelata selalu menjadi tumbal imunitas si kaya. Situasi ini memperlihatkan kondisi masyarakat miskin yang dipersulit aksesnya untuk mendapatkan kesehatan.
Bertahun-tahun opini ini saya pendam penuh dendam kesumat. hadirnya sosmed pro rakyat milik kompasiana.com sedikit banyak membantu memuntahkan uneg-uneg yang selama ini mati suri. Sakit (syaraf) yang menimpa tidak membuat ciut nyali untuk terus berobat dan berdo'a agar diberi ketabahan menjalani ujian dari sang pencipta.
Kartu ASKES sekarang bernama BPJS (belum saya urus) tidak terpakai hingga saat ini. Selain berbelit-belit rujukannya, perlakuan kurang bersahabat terhadap peserta asuransi kesehatan pernah saya alami, membuat otak saya mendidih dibiarkan nyaris sekarat, alhamdulillah belum sempat sekarat, saya kabur kalau hal ini saya turuti pasti akan diberi resep obat level rendah bukan obat paten. Lebih memilih ke dokter spesialis meski terbilang mahal namun kepuasan pelayanan pelanggan terjamin.
Faktanya Asuransi Kesehatan (Askes) dan Jaminan kesehatan daerah yang diperuntukkan bagi rakyat kini menjadi lahan simulasi bagi para penguasa faktor-faktor produksi untuk memperbanyak modal mereka.
Sepertinya nyawa orang yang dijamin pemerintah tak berharga oleh proses panjang administrasi dipermainkan seperti boneka, pingpong sana pingpong sini disuruh mengantri tanpa jaminan bertemu dokter, lain cerita kalau ada kenalan/orang dalam, atau lewat jendela (LETJEND)/umum pasti akan dipermudah. Ini memperlihatkan kondisi masyarakat miskin yang dipersulit aksesnya untuk mendapatkan kesehatan.
Dari kasus yang saya alami, ada pelajaran berharga. Bahwa biang keladi kemunculan penyakit bukan semata perilaku manusia dan keturunannya, melainkan kebijakan penguasa.
Sekilas info tentang Epilepsi....
Pernah terbersit dalam benak ingin bunuh diri bahkan minta disegerakan matiku atas jenis penyakit yang saya jalani, bila tak ingat yang namanya dosa. Suatu hari saya bermimpi didatangi sosok berjubah hitam berwajah putih bersih bercahaya dan tersenyum, saya balas dengan tersenyum dan berlalu, boleh percaya boleh tidak. Wallahu a’lam bish-shawabi.
Orang cenderung menilai bahwa sakit jenis epsi karena kesurupan makhluk halus atau mereka menganggapnya sebagai penyakit keturunan atau kutukan turun temurun, pembawa sial bahkan AIB keluarga. Pada awalnya saya tersugesti anggapan mereka benar, tapi setelah membaca beberapa referensi buku kesehatan dan searching eyang google ternyata anggapan mereka hanya mitos.
“Saat ini berbagai informasi mengenai epilepsi yang beredar di masyarakat luas masih kurang tepat. Kesalahan persepsi biasanya terjadi karena masih minimnya informasi dan pola pengertian masyarakat yang keliru serta telah terbentuk sejak lama, seperti anggapan negatif penyakit epilepsi. Padahal, para penyandang epilepsi sangat membutuhkan dukungan penuh. Terutama selama masa pengobatan yang memerlukan kedisiplinan dan kepatuhan penyandangnya,” Anna Marita Gelge (Ketua Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi di Indonesia-Perpei).
“Menurut Anna, pengobatan epilepsi yang perlu waktu bertahun-tahun seringkali membuat penderita tidak disiplin dalam mengonsumsi obat. Untuk itu, dukungan penuh terhadap kepatuhan pengobatan para Penyandang Epilepsi menjadi penting, supaya mereka dapat berjuang guna mencapai kesembuhan optimal”.
Epsi merupakan gangguan fungsi pada sekelompok sel-sel syaraf (neuron) di otak. Tiap sel mempunyai aktivitas listrik. Huglin Jackson mengatakan bahwa serangan epsi berasal dari aktivitas listrik yang berlebihan pada sekelompok sel-sel neuron di otak. Hans Berger pada tahun 1929 memperkenalkan alat yang dapat merekam dan melihat aktivitas listrik berlebihan sel-sel syaraf bernama elektroensefalografi (EEG).
Indonesia mengenal beragam bahasa daerah untuk kelainan ini misalnya : solpot, sawan, dan yang paling populer sebagai bahan cela-celaan yaitu AYAN, terserahlah apa kata mereka, Astagfirullahaladzim. Tentu tak asing bagi mereka yang berkecimpung di ilmu kedokteran khususnya yang ambil jurusan spesialis syaraf.
Meski begitu saya tetap bersyukur kepada ALLOH SWT dengan kondisi seperti ini masih diberi kenikmatan menghirup udara segar serta masih mampu menafkahi anak-anak dan istri, dengan ruang gerak serba terbatas, nikmat ALLOH SWT begitu berlipat ganda ketika masih ada wanita yang "mau" mengenalku, meski egois tempramen ketika ada sesuatu yang tidak sreg dengan keinginanya, itu semua merupakan makanan sehari-hariku hingga terkadang membuat emosional, semua itu saya terima dengan lapang dada sebgai konsekuensi sebagai suami yang penyakitan, menentangnya sama halnya membangunkan “singa betina” dari tidur. Emosional yang berlebihan justru dapat memicu efek samping (kejang) yang lebih besar. Lho kok malah curhat...lebay banget buka AIB sendiri, kasihan dech gue....ya sudahlah nasi sudah menjadi bubur. Terekpose tanpa tedheng alin-aling.
Menginjak usia kepala 4 (empat) obat-obatan sudah merupakan makanan harian seumur hidup secara intensif yang jumlahnya mencapai 3-4 macam, dimana jenis obat-obatan tersebut diluar tanggungan ASKES sekarang BPJS yang "diagung-agungkan", bahkan obat-obatan tersebut ibarat sahabat karib paling setia di muka bumi, bahkan separuh nyawa saya tergantung mereka, langkanya obat jenis ini menambah kritis pola hidup lebih baik. Bisa-bisa mengancam keberlangsungan hidup ODE.
Berikut rincian harga obat plus biaya kontrol ke doktet per 3 bulan :
NO. | NAMA OBAT | SATUAN | ATURAN | HARGA OBAT |
1. | Kutoin | Botol (100 biji) | 2 x sehari | Rp. 140.000 |
2. | Luminol/pinobarbital | Biji @Rp. 2000 x 100 | 1 x sehari | Rp. 20.000 |
3. | Vit. B6 | Biji @Rp. 2000 x 100 | 2 x sehari | Rp. 20.000 |
4. | Clobazam | Strip | 1 x sehari | @ Rp. 20.000 x Rp. 100.000 |
5. | Biaya Dokter | 1 x kontrol | Rp. 180.000 | |
6. | Makan malam | 1 x makan | Rp. 100.000 | |
7. | Carter angkot PP | 1 x kontrol | Rp. 150.000 | |
TOTAL | Rp. 710.000 |
Rekap per 3 bulan
NO | Rekap | Total |
1 | Triwulan I : Januari-Februari-Maret | Rp. 710.000 |
2. | Triwulan II : April-Mei-Juni | Rp. 710.000 |
3. | Triwulan III : Juli-Agustus-September | Rp. 710.000 |
4. | Triwulan IV : Oktober-Nopember-Desember | Rp. 710.000 |
TOTAL | Rp. 2. 130.000 | |
(Dua Juta Seratus Tiga Puluh Ribu Rupiah) |
Dari rincian diatas, semuanya diluar tanggungan negara alias tanpa bantuan Kartu ASKES sekarang BPJS. Nah, kalau negara sudi mengganti, besaran biaya yang harus saya gelontorkan buat periksa, per tahunnya Rp. 2. 130.000 (Dua Juta Seratus Tiga Puluh Ribu Rupiah). Sejak 1998 sebagai PNS terdapat potongan wajib Asuransi Kesehatan tiap bulannya senilai Rp. 60.000 (enam puluh ribu rupiah). Selama pengobatan dari tahun (2004-2015) tidak ada bantuan dari pemerintah, saking lamanya nyaris amnesia, dan sengaja tak mau mengingatnya, kalau diingat “sakitnya tuh di Dompet” !!!.
Untuk memudahkan pembaca, saya mencoba mengingat dan menyusun dalam bentuk tabel.
Berikut besaran biaya yang harus saya gelontorkan per tahun :
Rekap per Tahun
NO | Tahun | Total |
1 | 2004 | Rp. 2. 130.000 |
2. | 2005 | Rp. 2. 130.000 |
3. | 2006 | Rp. 2. 130.000 |
4. | 2007 | Rp. 2. 130.000 |
5 | 2008 | Rp. 2. 130.000 |
6 | 2009 | Rp. 2. 130.000 |
7 | 2010 | Rp. 2. 130.000 |
8 | 2011 | Rp. 2. 130.000 |
9 | 2012 | Rp. 2. 130.000 |
10 | 2013 | Rp. 2. 130.000 |
11 | 2014 | Rp. 2. 130.000 |
12 | 2015 | Rp. 2. 130.000 |
TOTAL | Rp. 25.560.000 | |
Rekam medis EEG | Rp. 550.000 *) | |
GRAND TOTAL | Rp. 26.110.000 | |
(Dua Puluh Enam Juta Seratus Sepuluh Ribu Rupiah) |
Keterangan :
*) Tidak kontinyu
Diluar rekam medis EEG Rp. 550.000 itu dalam kondisi tertentu, karena chek up tidak kontinyu, kecuali dalam kondisi parah, harus rutin untuk memantau jenis dan tingkatan epsi.
Jika harus menuntut siapa yang dituntut? Jika harus mengumpat, siapa yang diumpat? Itu sama halnya buang-buang energi, mubazir, dianggap sok suci alias munafik. Akhirnya diskriminasi terus berlanjut meski retorika revolusi mental diagungkan, remunerasi birokrasi di dengungkan. Sementara kapitalisme membuat kepekaan sosial menjadi bias. Konspirasi elite kian mengakar ke arah egoisme dan hedonisme. Tapi saya yakin Tuhan tidak tidur, tidak juga lengah. Akhirnya kejujuran itu hanya lelucon bangsa hipokrit.
Saya hanya terpukau ketika menyaksikan beberapa industri farmasi yang telah memonopoli beberapa jenis penyakit menjadi ajang komoditi. Peran dokter, perawat hingga apoteker adalah profesi yang mengemban misi kemanusiaan, bukan pekerja yang menjadi antek perusahaan farmasi. Keluarga pra sejahtera termasuk PNS level bawah tak luput berpredikat "miskin" karena miskin sendiri merupakan bentuk penyakit kronis yang sulit diselamatkan. UUD 1945 telah mengamanahkan pada Bab XIV Pasal 34 Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat biaya yang cukup besar untuk memperoleh sesuatu yang menajadi hak dasar setiap masyarakat yaitu kesehatan. Hal ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Karut marutnya dunia medis sepakat tidak sepakat bahwa pepatah bijak tuntutlah ilmu hingga ke negeri cina, telah bertransformasi menjadi tuntutlah kesehatan hingga ke negeri singa “bagi yang mampu”. Selain pusat shoping negara singapura merupakan destinasi favorit selebriti atau pejabat publik untuk mendapatkan kesehatan yang lebih baik, padahal negara mereka tidak mengenal Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945, tapi “PERADABAN” disana (singapura) lebih memanusiakan manusia. Meski takdir berkehendak lain, the best service sebuah opsi orang-orang berduit. Semisal Julia Perez, yang baru-baru ini sebagai tranding topic media cetak dan elektronik Alm. Yoga Sahputra (Olga).
Karena jika mereka sakit maka tidak akan mampu menjangkau pembiayaan rumah sakit, dan pembiayaan kesehatan lainnya. Implikasinya adalah orang miskin harus berusaha keras menjaga kesehatannya agar tidak sampai sakit. Harus ditanamkan kepada setiap pribadi bahwa sehat merupakan suatu nikmat yang diberikan oleh Alloh SWT kepada manusia, maka harus disyukuri dengan menjaga kesehatan itu sendiri. Dalam keadaan sakit, kita tidak akan bisa menikmati sesuatu senyaman apabila kita sedang sehat.
Tidak ada diskriminasi untuk mencapai hidup sehat. Minum air putih, menghindari rokok, berolahraga dan yang lainnya merupakan cara hidup sehat yang dapat dilakukan oleh siapapun. Semua berawal dari diri sendiri. Maka, mindset “orang miskin dilarang sakit” harus tetap ada dalam masyarakat karena implikasinya adalah masyarakat akan menjaga kesehatannya agar tidak sampai sakit sehingga dapat meningkatkan produktifitas.
Mindset ‘dulu orang miskin dilarang sakit, sekarang orang miskin boleh sakit, bahkan orang kaya ikut-ikutan sakit padahal mereka sudah mengenyam berbagai fasilitas mewah yang orang miskin tidak dapatkan, kemiskinan selalu menjadi objek menarik sebagai “kelinci percobaan” adanya jaminan kesehatan dari pemerintah.
Toh, penyakit ternyata dijadikan alat pelindung bagi koruptor untuk menunda-nunda untuk diadili bagi terdakwa yang akan sidang, dengan cepat mereka sadar surat sakti dokter ke para hakim nilainya seperti surat pengampunan. Orang miskinlah yang jadi korban dari sistem kesehatan yang diktator ini. Ayo kita lawan yang menindas. Orang kaya tidak boleh sakit agar orang kaya tersebut matinya tidak menjadi hantu penyakitan. Terimakasih Bapak Eko Prasetyo.
Toh, penyakit ternyata dijadikan alat pelindung bagi koruptor untuk menunda-nunda untuk diadili bagi terdakwa yang akan sidang, dengan cepat mereka sadar surat sakti dokter ke para hakim nilainya seperti surat pengampunan. Orang miskinlah yang jadi korban dari sistem kesehatan yang diktator ini. Ayo kita lawan yang menindas. Orang kaya tidak boleh sakit agar orang kaya tersebut matinya tidak menjadi hantu penyakitan. Terimakasih Bapak Eko Prasetyo.
Sumber : diolah dari berbagai sumber dan terinspirasi Buku Orang Miskin Dilarang Sakit Karya Eko Prasetyo
0 Comments:
Post a Comment