Just another free Blogger theme

Thursday, 12 November 2020

Kemegahan bangunan Benteng peninggalan kolonial Belanda dibawah kendali Van Den Bosch, merupakan salah satu tempat situs budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi selain Museum Trinil, dimana keberadaannya masih membutuhkan uluran tangan Pemerintah setempat, ini penting lantaran bangunan tua tersebut hanya menyisakan puing-puing bersejarah.


Selain sebagai tempat menuntut ilmu, rasanya tak mungkin saya melupakan kabupaten yang telah banyak menempa diri saya sedari kecil hingga remaja dengan penuh keramahan masyarakat Kabupaten/Kota Ngawi, Jawa Timur.
Kedatangan saya ke Ngawi kali ini untuk ambil cuti tahunan sekaligus menepati janji kepada anak pertama dan kedua yang akan memasuki bangku kuliah, niatan ini baru terlaksana usai urusan perlengkapan kuliah anak kelar dilain sisi sejenak melupakan rutinitas pekerjaan sekaligus memperkenalkan anak-anak kepada kakek neneknya.

Kabupaten Ngawi sudah tidak asing lagi, sedari Sekolah Tingkat Dasar hingga tamat Sekolah Tingkat Pertama memendam rasa di Kabupaten ini.

Satu-satunya yang mengalami perubahan di Ngawi adalah tergerusnya keberadaan sepeda pancal atau onthel, dimana dulu aktivitas mengayuh sepeda begitu mudah ditemui. 

Keadaan seperti ini yang tidak saya jumpai di era kehidupan digital ini, serta sentuhan infrastruktur jalan dan bangunan membuat Ngawi kian ramai. Keberadaan keberadaan kendaraan roda dua maupun roda empat menggerus keberadaan sarana transportasi konvensional.

Berkat kemajuan jaman, masyarakat yang tadinya tidak mengenal  smartphone, kini mulai akrab memanjakan jari-jemari masyarakat Ngawi, dimana kehidupannya bercocok tanam padi di sawah, dimana keahlian ini satu-satunya sarana penunjang kehidupan sehari-hari selain pekerjaan lain yang lebih menjanjikan.

Sedikit mengulas nama kabupaten yang diambil dari bahasa Sansekerta ‘awi’ yang artinya bambu. Cukup diakui, pesatnya perkembangan jaman turut mempengaruhi gaya hidup masyarakat Ngawi. Memang, tidak semua tradisi turun temurun itu tergerus jaman, itupun jumlahnya hanya hitungan jari.

Perjalanan ke Ngawi di awali keberangkatan dari berpetualuang di Surabaya, selama satu hari kami di kota pahlawan tersebut mengunjungi taman patung Suro dan Boyo dilanjutkan ke taman Bungkul sekaligus ziarah ke makam Sunan Bungkul.

Akhirnya, keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Ngawi. Berangkat dari rumah kost adik ipar, Kamis 19 Juli 2018, kami naik taksi online menuju terminal Purabaya Surabaya akrab disapa Bungurasih. 

Sesampainya di terminal tersebut kami naik bus jurusan Yogjakarta. Jarak tempuh dari Surabaya ke Ngawi lebih kurang 178 km apabila lewat tol Caruban, memakan waktu 3,5 jam. Jarak tempuh kian menjauh menjadi 211 km apabila melalui jalur Madiun, memakan waktu selama 5 jam.

Terpangkasnya perjalanan lantaran keberadaan infrastruktur berupa jalan tol di era Presiden Jokowi, akan tetapi kesuksesan itu belum dibarengi  percepatan pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan melemahya daya beli masyarakat dan mengakibatkan menguatnya nilai tukar dollar terhadap rupiah. 

Ibaratnya bukan dollar yang menguat, tetapi rupiah melemah, ya sama saja dong. Apapun polemiknya "embel-embel" mahal tidaklah jadi soal, asal janji saya kepada anak-anak terlaksana dengan selamat sampai ke tempat tujuan.

Terlelap dalam perjalanan, kami pun sampai di Desa Kandangan, lebih tepatnya turun di perempatan desa Kandang persis di depan Pos Polisi. Istirahat sehari, lalu memperkenalkan kepada anak-anak jejak perjalanan hidup bapaknya hingga sekarang ini. Diawali tempat sekolah dasar Karangtengah V hingga tingkat pertama di SMPN I Ngawi. Kemudian meluncur ke situs Sejarah bangunan fenomenal warisan penjajahan Belanda berwujud Benteng Van Den Bosch atau yang oleh masyarakat Ngawi lebih dikenal dengan nama Benteng Pendem (karena lokasinya sengaja dibuat rendah sehingga dari kejauhan tampak terpendam).

Lokasinya pun mudah dijangkau, cukup naik becak motor atau kendaraan pribadi kita sudah  dapat menuju Benteng Pendem berjarak kurang lebih 1 km dari kantor pemerintahan Kabupaten Ngawi. Kerennya, letak benteng ini sungguh dapat diklaim strategis. Betapa tidak, benteng Pendem berada di sudut pertemuan antara Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun. Tepat nya Sungai Tumplek.

Waktu kami ke lokasi tersebut untuk tiket masuk tidak dipungut biaya alias gratis, kami pun  dapat menelusuri eksotisme benteng yang dibangun oleh pemerintah Hindia – Belanda pada tahun 1830– 1833, tepat pada masa bakti dari Gubernur Jenderal Van Den Bosch.

Mengetahui hal ini tentu mudah-mudah saja. Hampir di setiap ruangan ataupun bangunan benteng, entah mengapa foto dari sang gubernur jenderal selalu dipatri di dinding.

Sejarah awal mula benteng ini, pada abad ke-19 Ngawi menjadi salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Jawa Timur, dan Ngawi dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda di wilayah Madiun dan sekitarnya dalam masa perang Diponegoro (1825 – 1830).

Perlawanan melawan Belanda pada saat itu sedang puncak-puncaknya, bahkan dipimpin langsung oleh kepala daerah setempat seperti di Madiun dipimpin oleh Bupati Kerto Dirjo, dan di Ngawi dipimpin oleh Adipati Judodiningrat dan Raden Tumenggung Surodirjo. 

Hingga tepat pada 1825, Ngawi berhasil direbut dan diduduki oleh Belanda. Atas dasar itulah untuk mempertahankan eksistensi, kedudukan serta fungsi strategis menguasai jalur pedagangan Belanda, sebuah benteng yang selesai pada tahun 1845 dihadirkan sebagai solusi.

Entah mengapa, saat memasuki benteng yang memiliki ukuran bangunan 165 m x 80 m dengan luas tanah 15 Ha ini, terdiri dari pintu gerbang utama, barak tentara, ruangan kolonel dan komando, serta kandang kuda, tak ada informasi lebih mendalam akan benteng.Tak tersefia informasi terkait Benteng Pendem, selain spot terbaik untuk mengabadikan foto-foto.

Hal ini tentu sangat disayangkan, apalagi mengingat benteng ini dulunya dihuni oleh 250 tentara Belanda bersenjatakan bedil, 6 meriam api, serta 60 kavaleri.

Keunikan yang dapat ditangkap oleh mata telanjang terletak pada gerbang utama, ialah bekas fondasi jembatan angkat serta bekas gerigi katrol pengangkat jembatan. Hal ini membuktikan bahwa dulunya gerbang masuk dikelilingi oleh parit selebar ± 5 meter yang dahulunya konon dipelihara buaya buas sehingga sulit dan berbahaya bagi tawanan serta pekerja rodi yang mencoba melarikan diri maupun pasukan pejuang yang akan menyerang.

Namun sayang, benteng yang digadang-gadang sebagai salah satu warisan kolonial bernilai historis tinggi, megah, serta bergaya khas kolonial. Justru kondisinya kini tampak tak terawat.

Beberapa bangunan telah memasuki fase rusak parah serta banyak ditumbuhi belukar. Jika rencana renovasi hanya sebatas rencana, serta tak ada perhatian khusus dari segenap elemen masyarakat, baik pemerintah sendiri dan juga masyarakat yang peduli, maka beberapa tahun ke depan benteng ini hanya sejerah kosong belaka.

Untuk itu, mari bersama-sama menjaga warisan yang menjadi bagian dari sejarah bangsa. Kalaupun bukan berbentuk materi. Kita pun dapat bersama-sama membuat Benteng Van Den Bosch semakin dikenal masyarakat luas, salah satunya dengan meramaikan jagat media sosial.


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 Comments:

Post a Comment