Just another free Blogger theme

Tuesday, 10 November 2020

Makassar-Hujan tak turun, suatu senja menjelang maghrib, ku percepat laju langkah kaki menuju masjid. Sejenak terkesima tanpa sengaja mataku menangkap langkah gontai seekor kucing tak tahu arah pulang.


Terpukau, ketika ku dapati seekor tikus tambun terbirit-birit dari pandangan kucing putih lecek tak kalah tambun, anehnya insting ke binatangan kucing memudar acuh tanpa reaksi dengan keberadaan tikus got.

Tersungging senyum kecut reflek dari bibirku yang mengering menahan sakit atas sindiran tikus kantor. Hati kecil berkata menyesal tidak membawa smartphone berkamera untuk mengabadikan peristiwa langka tersebut, agar tidak dicibir sebagai OPINI SAMPAH. Ke esokan hari, bahkan lusa ku ayunkan langkah kaki pada waktu dan tempat yang sama, berharap menjumpai kejadian, namun takdir bicara lain.

Simbol simbiosis mutualisme rantai makanan kucing kecanduan tikus tidak berlaku di Era Patrimonial bangsawan TIKUS. Hukum timbal balik terlaksana dimana seekor kucing membutuhkan uluran tangan manusia berupa pemberian makanan dan susu. Gilanya kucing-kucing blesteran indo balanda, mesir dan persia dimanja dengan makanan merek import, nominalnya terbilang istimewa melebihi program bantuan kesejahteraan bagi rakyat miskin. Harga jual kucing pun terbilang meroket, tidak sepadan dengan harga nyawa TKI/WNI dijatuhi hukum pancung oleh Kerajaan Arab Saudi.

Sementara tikus makin pintar, selektif memilih makanan beracun atau tidak, guna menghidari punahnya koloni, superioritas kemakmuran dipertaruhkan tat kala kecolongan memilih makanan, korban berjatuhan.

Tikus kian intelektual dari resep bercita rasa tinggi yang mereka santap ; keju, susu, ikan salmon, ayam bakar/goreng, pilihan tikus meskipun harus menanti sisa-sisa santapan manusia, disitulah kenikmatan tercipta. Binatang pengerat nokturnal bebas mandiri berkelana, mencari nafkah. Terbalik dengan kucing sifatnya lebih manis, manja, menjilat untuk mencari perhatian juragannya, dalam hal makanan kucing tergolong binatang kamnivora tidak memikirkan kucing lain.

Selektifitas tikus memilah makanan, binatang berdedikasi tinggi, solid dengan hasil jarahannya, meski diberatas ribuan kali koloninya tetap eksis dari peradaban manusia. Sementara kecerdasan tikus meningkat, kecerdasan kucing kian menurun. Kucing datang tikus menghilang, kasih suap jalan pun lancar, masa bodoh hilang harga diri, asal tak terbukti tentu sikat lagi, lengkap sudah penderitaan kucing.

Dalam konteks kehidupan manusia, perilaku dan sifat tertentu manusia digambarkan seperti hewan, makhluk yang lebih rendah derajadnya dibanding manusia itu sendiri. Penyandaran manusia pada hewan tertentu itu biasanya karena kesamaan perilaku dan sifat. “Kucing garong” untuk suatu penggambaran pada seorang laki-laki yang doyan perempuan. Sedangkan tikus pendelegasian untuk pelaku korupsi.

Cerdik licik tikus bertingkah tengik cenderung berkonspirasi patgulipat menyalip dari pengkolan, menusuk dari belakang melukai makhluk lain, tanpa belas kasihan. Pada zaman keserakahan ini kita tampaknya lebih memilih pasang badan buat orang-orang yang mau diajak berkomplot, Seperti itulah tipe pengerat “TIKUS” dan itulah realisasinya sekarang.

Memilih memimpin jauh harus lebih hati-hati, jangan seperti membeli kucing dalam karung. Jangan terjebak ekspektasi yang terlalu tinggi dan mengharap terlalu banyak, karena yang indah-indah itu terjadi kalau kita siap memberi. Sebab, bukan zamannya lagi pemimpin yang tertutup, yang semuanya serba rekayasa untuk menutupi kebobrokannya di hadapan rakyat. Saatnya, memilih pemimpin yang terbuka dan terbiasa melakukan transparansi, serta tidak antikritik.

Terserah anda mau level tikus, atau kasta kucing. Sedangkan saya lebih condong sebagai komentator seperti katak dalam tempurung.


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 Comments:

Post a Comment