JAKARTA - Proses seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Periode 2022-2027 yang saat ini berlangsung di DPR RI Komisi XI, yang masih mengakomodir kader partai politik untuk menjadi anggota BPK, menuai kritik dari CSIS. Karena bertentangan dengan Putusan MK yang melarang anggota BPK dari anggota partai politik.
Hal ini disampaikan oleh Peneliti CSIS, Nicky, melalui pesan tertulis yang diterima media melalui WhatsApp, Senin (25/7/2022).
Dalam pesan tertulis itu, Nicky menjelaskan, Badan pemeriksa keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Eksistensi institusi BPK dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia sebagaimana diatur di dalam UUD 1945, menggambarkan adanya inovasi dari doktrin pemisahan kekuasaan yang digagas oleh Montesquieu, yakni; Trias Politica.
Dalam konteks sejarah ketatanegaraan Indonesia, pada masa berlakunya Indische Staatsregeling (IS), dalam sistem ketatanegaraan Hindia Belanda, kita dapat menemukan cikal bakal atau cetak biru lembaga BPK. Pada masa tersebut di samping adanya lembaga eksekutif (Gubernur Jenderal), dan lembaga semi-legislatif atau penasehat (Volksraad), juga terdapat Algemene Rekenkamer (AR). Dimana, AR memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai auditor pengelolaan keuangan negara.
Sebagai auditor keuangan negara, telah melekat setidaknya dua fungsi penting di dalam BPK, yakni; auditif dan eksaminatif. Kedua fungsi tersebut, memberikan dampak pada mekanisme saling memeriksa dan mengimbangi (checks and balances) di dalam sistem ketatanegaraan RI.
Di sisi lain, dalam hal keanggotaan, BPK yang berintikan 9 anggota, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.
Adapun mengenai prosedur lebih lanjut pengisian keanggotaan BPK, dan pembatasannya diatur di dalam Pasal 28 huruf e UU 15 Tahun 2006 tentang BPK (UU 15/2006). Kedua pasal tersebut, sejatinya berkaitan dengan isu yang tetap berkembang di dalam ruang publik, yakni; masih adanya dominasi keanggotaan BPK yang berasal dari unsur partai politik.
Kendati demikian harus disadari bahwa dominasi tersebut tidak terlepas dari mekanisme pemilihan anggota BPK yang dilakukan oleh DPR. Adanya mekanisme tersebut menunjukkan adanya negosiasi ataupun intervensi pengaruh politik tidak dapat dihindari. Lantas bagaimana kita bersikap terhadap fenomena tersebut?
Dalam Putusan MK No. 106/PUU-XII/2014, secara fundamental MK memperkuat kedudukan Pasal 28 huruf e UU 15/2006, mengenai larangan anggota BPK menjadi anggota partai politik. Selanjutnya, MK memberikan suatu pedoman penting terkait larangan tersebut yakni; hendaknya dalam jangka waktu 6 bulan sebelum mendaftarkan diri yang bersangkutan sudah mengundurkan diri terlebih dahulu dari keanggotaan partai.
Di sisi yang lain, dalam Putusan tersebut, MK memberikan pesan kunci yang merupakan virtue bagi setiap anggota BPK, yakni; setiap anggota BPK wajib memiliki nilai integritas dan imparsialitas. Sehingga, dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan, setiap anggota terbebas dari pengaruh apapun. Dengan kata lain pesan kunci tersebut mengarahkan pada suatu etos kerja dan integritas yang tinggi.
Menguatkan independensi dari BPK, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menegaskan dalam beberapa kasus, BPK sebagai lembaga yang mestinya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tetapi tidak serius membenahi instansinya.
Egi memberi contoh kasus suap terhadap auditor BPK yang menyeret nama Bupati Bogor Ade Yasin. Egi mengatakan, dengan kasus suap terhadap auditor BPK yang terjadi beberapa kali menunjukkan bahwa lembaga independent ini gagal menjalankan fungsi instrumen pengawasan internal. “Ada kode etik BPK, tetapi punishment dan penegakannya kurang berjalan baik,” sebutnya.
Egi menegaskan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tidak menjamin lembaga BPK bebas korupsi karena beberapa kasus korupsi kerap terjadi di daerah yang mendapat predikat WTP. “Jual beli predikat sering condong untuk menjaga gengsi, tetapi sebenarnya institusi yang memiliki visi bersih dari korupsi, belum tentu bersih menjalankan amanatnya.”
Egi setuju dengan CSIS bahwa dalam menjalankan fungsi auditif dan eksaminatif, BPK harus lepas dari kepentingan-kepentingan pribadi dan partai agar punishment dan independensi di depan public tetap terjaga. (***)