Just another free Blogger theme

Tuesday 14 May 2024



Cairo – Perwakilan Persatuan Pewarta Warga Indonesia di Mesir (PPWI Representative of Egypt) dalam waktu dekat akan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jurnalistik khusus bagi pewarta ekonomi. Diklat ini diselenggarakan bekerjasama dengan Institut Kualifikasi Nasional Mesir (BNSP-nya Mesir) dan disyahkan oleh Kementerian Luar Negeri negara piramida tersebut.


Selain itu, Dewan Pengurus Nasional PPWI di Jakarta juga ikut mengakreditasi kegiatan pendidikan dan pelatihan ini. Mitra konsorsium PPWI, yakni Firsts Union Association, yang berpusat di Lebanon menyatakan mendukung penuh kegiatan ini.


Hal tersebut disampaikan oleh Ketua PPWI Nasional urusan Internasional, Dr. Abdul Rahman Salem Dabboussi, setelah menerima laporan dari PPWI Representative of Egypt, Senin, 6 Mei 2024. “For the first time in Egypt and the Arab world, PPWI Representative of Egypt will soon start the first diploma in Economic Media accredited by the National Institute of Quality and attested by the Ministry of Foreign Affairs, as well as a certificate accredited by the Indonesian Citizen Journalists Association,” jelas Dabboussi dalam laporannya kepada Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke di Jakarta.


Berdasarkan informasi yang diterima Dabboussi dari rekan Perwakilan PPWI Mesir, Mohamed Sayed Mohamed Sayed dan Ahmed Eissa Bedir, diklat dimaksud akan berlangsung selama 1 minggu. Kepada setiap peserta yang lulus akan diberikan sertifikat professional bidang pewarta ekonomi yang dilisensi oleh Nasional Institute of Quality of Egypt.


Merespon hal ini, Ketua Umum PPWI menyambut baik dan merasa gembira atas pergerakan PPWI Internasional yang sangat progresif di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, khususnya di Mesir. “Ketika saya diminta persetujuan atas program ini, dengan serta merta saya katakan bahwa PPWI Nasional di Jakarta sangat mendukung upaya pencerdasan masyarakat di setiap sudut dunia ini, salah satunya melalui pendidikan dan pelatihan jurnalistik. Jikapun diperlukan pelatih jurnalistik dari Indonesia kita siap berangkatkan tenaga trainer professional yang diperlukan,” ujar trainer jurnalistik yang sudah melatih ribuan anggota masyarakat, termasuk TNI, Polri, PNS, LSM, ormas, mahasiswa, buruh, dan wartawan itu, Selasa, 7 Mei 2024.


Dewan Pengurus Nasional PPWI, tambah tokoh pers nasional ini, senantiasa berharap agar eksistensi organisasi yang mewadahi setiap orang untuk berkecimpung di bidang jurnalisme tanpa meninggalkan pekerjaan pokoknya itu bisa memberi manfaat bagi masyarakat di belahan dunia manapun. “Semoga kehadiran PPWI yang kini sudah memiliki perwakilan di 22 negara di luar Indonesia bisa memberikan manfaat maksimal bagi setiap orang dimanapun dia berada, dari bangsa manapun dia berasal,” tambah lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, ini senang. (APL/Red)

 



Jakarta – Semakin seru, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) secara diam-diam telah mengirimkan somasi kepada Dewan Kehormatan PWI. Dari bisik-bisik tetangga yang diterima redaksi media ini, pergolakan di internal organisasi wartawan yang dijuluki peternak koruptor binaan Dewan Pers itu semakin membara. Ketum PWI, Hendri Ch Bangun, dan Sekjennya, Sayid Iskandarsyah, mensomasi Sasongko Tedjo cs atas Surat Keputusan Dewan Kehormatan PWI yang memberikan teguran keras kepada Hendri dan mewajibkan pengembalian dana hibah BUMN yang dikorupsi oleh dedengkot koruptor itu sebesar Rp. Rp1.771.200.000 (satu miliar tujuh ratus tujuh puluh satu juta dua ratus ribu rupiah).


Menanggapi hal tersebut, aktivis anti korupsi di kalangan pers, Wilson Lalengke, mengatakan bahwa ia sejak awal sudah memberikan statemen terkait eksistensi Dewan Kehormatan PWI yang dinilainya tidak memiliki kehormatan. Dengan munculnya gerakan mbalelo para koruptor Hendri Ch Bangun dan kawan-kawannya itu semakin memperburuk dan menghancurkan kehormatan lembaga di internal PWI yang semestinya menjadi symbol penjaga kehormatan, harga diri, dan keberadaban organisasi.


“Tulisan paling awal saya tentang kisruh pengurus pusat PWI adalah terkait eksistensi Dewan Kehormatan yang menurut saya nir-kehormatan atau tidak mempunyai kehormatan. Dengan adanya somasi dari koruptor Hendri dan Sayid terhadap dewan kehormatan organisasinya itu, hal ini membuktikan bahwa kehormatan Dewan Kehormatan PWI memang nihil, yang artinya juga secara organisasi PWI tidak memiliki kehormatan sama sekali,” jelas Wilson Lalengke dalam pernyataan persnya, Selasa, 14 Mei 2024.


Berita terkait baca di sini: Dewan Kehormatan yang Nir-kehormatan (https://pewarta-indonesia.com/2024/04/dewan-kehormatan-yang-nir-kehormatan/)


Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini menambahkan bahwa kondisi itu merupakan pertanda bahwa organisasi PWI sudah di ambang kehancuran yang diakibatkan oleh perilaku buruk pengurus dan anggota PWI itu sendiri, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Harta terbesar, terbaik, dan paling berharga sebuah komunitas, organisasi, paguyuban, dan sejenisnya adalah harga diri, martabat, dan kehormatan yang dimiliki oleh lembaga tersebut. Kepemilikan harga diri dan kehormatan itulah yang akan melahirkan kepercayaan dan rasa hormat publik terhadap seseorang dan sesuatu lembaga.


“Jika unit dewan kehormatan sebuah organisasi sudah hancur, maka harga diri, martabat dan kehormatan organisasi itu ikut hancur-lebur. Dalam kondisi demikian, kepercayaan dan rasa hormat masyarakat terhadap lembaga itu dipastikan hilang sama sekali. Dan ini sama artinya organisasi itu sudah sekarat, tinggal menunggu waktu untuk tutup usia,” ujar lulusan pasca sarjana bidang Etika Global dari Universitas Birmingham, Inggris, ini.


Untuk itu, Wilson Lalengke menyarankan agar pihak dewan kehormatan harus menunjukkan kewibawaan mereka dengan tegas di depan sub-unit organisasinya. Jangan biarkan unit-unit yang berada di bawah kontrol dan pengawasan mereka melakukan tindakan sesuka hatinya. Perilaku Ketum PWI dan kawan-kawannya itu bukan lagi sekadar persoalan etika di internal organisasi PWI, tapi sudah masuk ranah pidana yang harus diproses di institusi aparat penegak hukum negara.


“Perilaku korupsi dan penggelapan uang rakyat oleh para dedengkot koruptor, Hendri Ch Bangun, Sayid Iskandarsyah, Muhamad Ihsan, dan Syarif Hidayatullah, itu tidak hanya sekadar masalah pelanggaran aturan-aturan internal PWI, tapi itu adalah pelanggaran pidana yang harus dipertanggung-jawabkan di hadapan seluruh rakyat Indonesia,” tegas Wilson Lalengke dengan menambahkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa atau extra-ordinary crime yang harus diproses hukum sesegera mungkin.


Bagaimana cara menegakkan wibawa Dewan Kehormatan PWI? Menjawab pertanyaan ini, tokoh pers nasional yang baru saja melaporkan Menteri BUMN, Dewan Pers, dan keempat pengurus pusat PWI itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) ini mengatakan itu hal mudah.


“Jawabannya sangat simple, Dewan Kehormatan hanya perlu melakukan dua hal. Pertama, seret para pengurus pusat PWI dan semua yang terindikasi terlibat dalam korupsi dan penggelapan dana hibah BUMN itu ke aparat penegak hukum, lebih cepat lebih baik. Kedua, keluarkan maklumat memecat para pengurus dan merekomendasikan pelaksanaan munaslub organisasi secepatnya demi penyelamatan organisasi. Langkah luar biasa harus dilakukan dengan tegas karena lelaku kriminal para pengurus pusat PWI itu adalah kejahatan luar biasa yang tidak bisa diselesaikan dengan cara biasa,” tutur Wilson Lalengke menyarankan.


Sekadar pengetahuan bersama, melalui surat nomor: 019/TP-PWIP/V/2024, tertanggal 14 Mei 2024, Ketua Umum PWI, Hendri Ch Bangun, menyampaikan “Keberatan dan Somasi atas Surat Keputusan Dewan Kehormatan PWI Pusat nomor: 20/IV.DK/PWI-P/SK-SR/2024”, kepada Dewan Kehormatan PWI Pusat. Dalam surat somasi setebal 13 halaman yang dilayangkan melalui tim penasehat hukumnya itu, Hendri Ch Bangun mengatakan bahwa dirinya keberatan atas teguran keras dan kewajiban mengembalikan dana hibah BUMN sebesar Rp. 1,7 milyar dengan alasan bahwa Dewan Kehormatan PWI Pusat tidak berwenang dalam memeriksa, mengadili dan memutus hal-hal yang sebagaimana dalam Surat Keputusan Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dengan Nomor: 20/IV/DK/PWI-P/SK-SR/2024 tentang Sanksi Organisatoris Terhadap Saudara Hendry Ch Bangun. Surat somasi yang isinya sama seperti itu juga dikirimkan oleh Sekjen PWI, Sayid Iskandarsyah, melalui kuasa hukum yang sama.


“Orang-orang ini mau berkelit dari pengembalian uang karena menurut kabar burung uangnya sudah dibelikan mobil dan motor gede, yang akhirnya tidak bisa terjual akibat publik telah maklum barang-barang itu adalah hasil mencuri dari uang rakyat oleh para dedengkot koruptor PWI peternak koruptor binaan Dewan Pers itu,” pungkas Wilson Lalengke dengan nada prihatin. (APL/Red)

Sunday 5 May 2024



Oleh: Wilson Lalengke


Jakarta – Saya kehabisan judul yang tepat untuk menggambarkan isi tulisan ini. Bagaimana tidak? Keresahan di kalangan senior dan pini sepuh organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) terkait kasus korupsi miliaran uang rakyat yang dilakukan Ketua Umum PWI, Hendri Ch Bangun bersama kroco-kroconya sangatlah mengundang rasa iba kita. Mereka yang pernah berada di dalam kepengurusan organisasi pers tertua itu harus ikut menanggung malu atas peristiwa memalukan yang dilakukan para pengurus PWI saat ini.


Kondisi itu terlihat dari curhatan beberapa wartawan kawakan PWI kepada saya atas kebiadaban Hendri Ch Bangun Cs yang menjadikan organisasi PWI sebagai wadah penyemaian dan pengembangan karakter korup di kalangan wartawan di nusantara untuk kepentingan perut kelompoknya sendiri. Sebagai pendengar yang baik, saya hanya bisa menghela nafas panjang dan memberikan respon sekadarnya sebagai tanda ikut berbelasungkawa atas kematian rasa malu dan kehancuran harga diri di kalangan anggota dan pengurus PWI.


Keadaan bertambah suram, masih menurut para pini sepuh itu, karena kasus besar yang oleh hukum digolongkan ke dalam kelompok extra-ordinary crime, korupsi uang negara, ini tidak menyentuh nurani satupun dari jajaran media besar di negeri ini. Ibarat pepatah Minang, ‘tibo di mato dipicingkan, tibo di paruik dikempihkan’, itulah sifat dan karakter buruk media-media besar di tanah air. Mereka hanya galak memberitakan orang lain yang korupsi, tapi diam seribu bahasa ketika diri dan rekannya sendiri yang melakukan korupsi.


Untunglah ada ribuan media akar rumput yang masih memelihara idealisme jurnalistik, yang dengan tidak kenal lelah mengangkat kasus mega skandal UKW-Gate oknum koruptor PWI binaan Dewan Pers, Hendri Ch Bangun, Sayid Iskandarsyah, Muhamad Ihsan, dan Syarief Hidayatullah, plus tentunya para pengurus Dewan Pers. Jika tidak ada media-media golongan semut yang terus bersuara menggugat perbuatan bejat para begundal perampok uang rakyat itu, maka kasus ini pasti tidak terekspos ke publik.


Keprihatinan dan keresahan hati para senior PWI tidak berhenti sampai di situ. Pasalnya, laporan polisi atas dugaan penggelapan dan korupsi uang rakyat oleh para oknum pengurus pusat PWI, Hendri Ch Bangun dan kawan-kawannya, ke Bareskrim Polri disinyalir kuat tidak akan digubris Jenderal Lisyo Sigit Prabowo dan jajarannya. Mengapa? Secara singkat, jawabannya ada pada judul artikel ini.


Tersebutlah beberapa oknum pengurus PWI, baik dewan pengurus harian, dewan penasehat, dan dewan kehormatan, adalah peliharaan para bandit yang terkoneksi dengan korps baju coklat itu. Dari bocoran para senior, dapat kita sebutkan bahwa Timbo Siahaan merupakan salah satu anak emas TW, yang kita sangat mafhum merupakan salah satu tokoh pengusaha hitam pengendali istana di negeri ini. Bukan tidak mungkin, sang taipan itu langsung lakukan courtesy call ke Jenderal LSP untuk tidak merespon laporan Jusuf Rizal dari LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), dengan alasan uang yang dikorupsi pengurus PWI akan dikembalikan berpuluh kali lipat.


Belum lagi Sayid Iskandarsyah yang tidak lain adalah salah satu orang kepercayaan Ilham Bintang, sang Dewan Penasehat PWI. Walaupun wartawan senior pemilik media Check & Recheck itu terlihat koar-koar tentang korupsi di tubuh PWI, tapi kita tidak tahu persis keadaan medan papan catur yang mereka sedang mainkan saat ini. Hampir pasti, waktu akan meredakan ketegangan di antara mereka, dan semuanya tuntas diselesaikan secara adat di internal mereka, yang berujung case closed.


Penanganan kasus ini juga tidak semudah mengusut pelaku pencuri kambing bernama Hotdog versi Rocky Gerung. Gurita skandal korupsi yang melibatkan para petinggi PWI peternak koruptor itu telah menjalar dari pusat kekuasaan, Istana Negara, hingga ke desa-desa. Adakah para wereng coklat itu memiliki nyali untuk memanggil Erick Tohir sebagai Menteri BUMN, misalnya, untuk dimintai keterangan soal penyaluran dana hibah BUMN ke PWI dengan dalih membiayai kegiatan UKW, yang notabene illegal itu? Tentu lebih mustahil Lisyo Sigit Prabowo punya setitik darah keberanian untuk memanggil Presiden Joko Widodo yang memerintahkan Erick Tohir memberikan dana hibah yang dapat dikategorikan sebagai suap kepada wartawan PWI menjelang Pilpres 2024.


Jikapun kita boleh berandai-andai, Bareskrim dengan semangat presisinya memanggil para dedengkot koruptor PWI, Hendri Ch Bangun dan kawan-kawannya, hampir dipastikan polisi ibarat sedang mengundang harimau ke tempat berlindung mereka di Trunojoyo sana. Taring-taring media besar nasional yang selama ini menikmati status quo limpahan rejeki dari APBN bersama PWI akan bermuculan dan siap menerkam para petinggi Polri yang selama ini telah dikenal sebagai para bandit berbaju undang-undang. Melihat taring-taring runcing berkilau, hampir pasti seragam coklat para polisi itu luntur berubah jadi pucat pasi seperti kucing basah,


Itulah kondisi bangsa ini. Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Toh, kerusakan bangsa akibat korupsi miliaran oleh para dedengkot koruptor PWI tak Anda rasakan, bahkan seakan tidak berpengaruh sama sekali pada kehidupan rakyat. Kapolda Riau, Muhammad Iqbal saja masih kongkow bahagia bersama koruptor Hendri Ch Bangun. Plus, Mendargi Tito Karnavian bahkan meminta PWI lakukan sosialisasi pilkada ke daerah-daerah, yang hampir pasti akan jadi lahan korupsi lagi bagi Hendri dan kawan-kawannya.


Salam Korupsi Indonesia..!! Ingat, sesama busway dilarang saling mendahului, sesama bandit harus saling melindungi. (*)


Penulis adalah Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012

Saturday 4 May 2024

 



Depok – Miris! Itulah kata yang dapat kita ucapkan tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi di negara ini. MA telah menjelma menjadi pasar gelap jual-beli perkara bagi para pencari keadilan. Hal ini disampaikan Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, menanggapi pengalaman pahit warga lanjut usia yang mengadukan nasibnya ke Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI).


“Cukup banyak oknum pemain perkara di Mahkamah Agung itu, bahkan hampir semua hakim agung dan para birokrat serta staf di sana adalah pedagang dan/atau makelar perkara. Karena mainnya abu-abu cenderung gelap, makanya saya bilang MA itu ibarat pasar gelap tempat jual-beli perkara. Siapa punya uang, dia bisa beli keadilan di gedung bercat putih itu. Akibatnya, warga miskin selalu jadi pihak yang kalah jika berperkara di MA,” tegas Wilson Lalengke yang dikenal getol membela warga terzolimi di berbagai tempat ini, termasuk dalam kasus kriminalisasi Kepala SMAN 3 Poso oleh Mahkamah Agung beberapa tahun lalu, Sabtu, 4 Mei 2024.


*Baca di sini: Tragedi Suhariono, Suratan Nasib dan Harga Kopi (https://pewarta-indonesia.com/2022/02/tragedi-suhariono-suratan-nasib-dan-harga-kopi/)*


Salah satu korban jual-beli perkara di MA yang sedang merana saat ini adalah Dewi Anggrahaeni (71 tahun), warga Depok, Jawa Barat. Dewi Anggrahaeni selaku ahli waris dari Harjo Judotomo sedang memperjuangkan hak atas tanah milik almarhum suaminya yang diserobot orang lain, yang diduga bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Depok. Perkaranya sudah dimenangkan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, namun warga lansia itu harus menerima nasib dikalahkan karena tak mampu membayar sejumlah uang yang diminta oknum pegawai MA yang mengaku bernama Efriansyah dan Febri Widjayanto.


Awalnya, para oknum tersebut meminta uang muka sebesar 100 juta rupiah dari total 200 juta rupiah untuk pemenangan perkara. Uang muka tersebut kemudian turun menjadi 20 juta, sisanya dibayarkan apabila konsinyasi dari pembebasan Jalan Tol Cijago dibayarkan. Perkara ini kemudian disampaikan oleh penerima kuasa Dewi Anggrahaeni, yakni angggota PPWI Depok Rita Sari, kepada Wilson Lalengke yang juga adalah Ketua Umum PPWI.


Dalam keterangannya, Rita Sari menyebut bahwa sudah sangat jelas Dewi Anggrahaeni telah memenangkan perkara ini di Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Tinggi Bandung. Namun di tingkat kasasi di MA, perkaranya dikalahkan dengan cara yang sungguh tidak masuk akal. MA memenangkan pihak lawan dari Dewi Anggrahaeni dengan alasan bahwa Akta Jual Beli (AJB) yang dipegang Dewi hanya foto copy yang dilegalisir pihak Kecamatan.


“Jelas tidak masuk akal, apalagi sertifikat yang dimenangkan adalah bodong tidak mempunyai AJB. Pada saat Peninjauan Kembali (PK), Dewi Anggrahaeni memberikan bukti novum baru yaitu bukti keterangan bahwa AJB Justina Karinata (lawan Dewi dalam perkara ini – red) tidak terdaftar di kecamatan maupun di notaris manapun, sementara AJB Dewi Anggrahaeni walaupun hanya foto copy namun sudah dilegalisir oleh Camat karena memang terdaftar di Kecamatan Sawangan, Depok, Jawa Barat,” tutur Rita Sari, Kamis (2/5/24).


Pada suatu kesempatan, Rita Sari selaku penerima kuasa ditelpon oleh oknum yang mengaku bernama Efriansyah, mengaku stafnya Panitera Pengganti Febri Widjayanto, bahwa Panitera Pengganti ini akan menelpon dirinya terkait PK No.1305/PK/PDT/2023 yang dimohonkan oleh Dewi Anggrahaeni. Dan benar pada tanggal 8 Desember 2023 Rita menerima telpon dari Febri yang mengatakan bahwa perkara Dewi Anggrahaeni menang dan akan disidangkan pada Senin 11 Desember 2023.


Febri Widjayanto juga mengatakan kepada Rita bahwa pihak sebelah (Justina Karinata – red) meminta perkaranya dimenangkan tapi pihaknya menolak. Pada Senin 11 Desember 2023 Rita dikirimi bukti putusan perkara yang menang dan ditanda-tangani Majelis Hakim yang menyidangkan perkara Dewi Anggrahaeni vs Justina Karinata.


Namun, Rita sebagai penerima kuasa dari ahli waris diminta uang sebesar 300 juta awalnya. “Tapi Rita bilang bahwa uang di Pengadilan Negeri Depok yang masuk konsinyasi hanya 1 milyar 49 juta. Akhirnya angkanya turun, Febri Widjayanto minta 200 juta. Setelah Rita mendapat kiriman putusan melalui whatsapp, Febri Widjayanto minta uang muka sebesar 100 juta. Setelah negosiasi panjang angka itu turun hingga 20 juta, tapi karena belum ada dana juga, maka uangnya belum dibayarkan. Tiba-tiba, pada tanggal 20 Desember 2023 putusan PK Dewi Anggrahaeni terbit yang menyatakan PK ditolak,” tambah aktivis kemanusiaan yang tinggal di Depok ini.


Rita kemudian mengkonfirmasi soal bukti putusan yang dikirimkan Febri Widjayanto pada 11 Desember 2023 tersebut ke MA. Pihak MA mengatakan putusan yang dikirimkan oleh Febri Widjayanto saat meminta uang 300 juta rupiah itu adalah palsu.


“Aneh MA merupakan tempat yang tidak sembarang orang boleh masuk, tapi kenapa bisa kecolongan? Putusan berdasarkan sertifikat bodong Justina Karinata yang dimenangkan oleh MA sudah masuk ke website Mahkamah Agung dan sudah baku, artinya tidak bisa diganggu gugat lagi sampai putusan tersebut dikirimkan ke Pengadilan Negeri Depok,” ujar Rita penuh tanda tanya kecewa.


Lebih lanjut, Rita mengatakan bahwa pada saat ia dan wartawan Sinar Pagi, Anis, menemui humas MA, pihak humas MA bertanya maunya apa? Akan tetapi ketika Rita bertemu lagi dengan humas MA yang berbeda orang, pihak MA mengatakan itu sudah tidak bisa diubah, tapi bisa digugat lagi melalui PK ke-2 asalkan ada pidananya.


“Jelas itu ada pidananya karena sertifikat atas nama Justina Karinata cacat secara hukum sebab asal-muasalnya tidak jelas dan menyerobot tanah orang. Sampai kapanpun MA harus bertanggung jawab dengan putusan yang seenak udelnya itu,” tegas Rita.


Secara singkat, Rita menceritakan sejarah tanah itu yang awalnya dibeli secara kredit oleh Harjo Judotomo (Alm), suami dari Dewi Anggrahaeni (71 tahun), pada tahun 1977 dari pengembang tanah kaplingan bernama Soeparlan. Saat pembelian tanah tersebut, Harjo Judotomo menerima Surat Akte Jual Beli nomor: PM.141/17/10/12/XII/1977 tanggal 29 Desember 1977 atas nama Harjo Judotomo dari pemilik tanah asli bernama Naman Kotong (Alm). AJB tersebut dikeluarkan oleh Camat Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat. Tanah kaplingan terletak di Jl. Swadaya RT.006, RW.002, Kelurahan Limo, Kecamatan Limo (dahulu Kecamatan Sawangan, Kewedanan Depok, Kabupaten Bogor), Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Bersama lahan kaplingan lain yang dijual oleh pengembang Soeparlan, tanah kosong tersebut selama bertahun-tahun ditanami palawija oleh warga sekitar.


Masalah muncul sekitar tahun 2015 ketika ada program pembebasan lahan untuk jalan toll Cinere – Jagorawi alias Toll Cijago. Pada saat pendataan tanah yang akan dibebaskan, ternyata muncul Sertifikat Hak Milik nomor 02447/Limo atas nama Justina Karinata, Surat Ukur nomor 577/Limo/2000 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Madya Depok tahun 2001. Oleh Dewi Anggrahaeni sebagai ahli waris Harjo Judotomo, sertifikat yang diduga kuat bodong tersebut digugat ke PN Depok pada tahun 2019, dan diputus menang oleh majelis hakim. Demikian juga ketika pihak Justina Karinata melakukan banding ke PT Jawa Barat, majelis hakim banding memenangkan pihak Dewi Anggrahaeni.


Kisruh sengketa lahan tersebut tak kunjung berakhir ketika MA justru mengabulkan permohonan kasasi Justina Karinata. Walaupun alat bukti kepemilikan oleh pemohon kasasi adalah sertifikat bodong yang disinyalir merupakan hasil kerja para mafia tanah di BPN Depok, namun Justina Karinata dimenangkan oleh hakim (yang tidak) agung di tingkat kasasi.


Dewi Anggrahaeni tidak putus asa, ia mengajukan PK dengan melampirkan novum baru terkait fakta bahwa ada dugaan pemalsuan AJB atau setidaknya memberikan keterangan palsu oleh pihak Justina Karinata karena alas hak yang dijadikan dasar pembuatan SHM nomor 02447/Limo tidak terdaftar di notaris atau kecamatan/PPAT manapun di wilayah setempat. Namun, sebagaimana disampaikan di pemberitaan di atas tadi, permohonan PK wanita tua itu ditolak akibat lalai memberikan setoran 20 juta rupiah ke oknum pedagang putusan di Mahkamah nir-Agung Republik Indonesia, pasar gelap perkara ternama di tanah air tercinta ini. (TIM/Red)

Friday 3 May 2024


Rasa cemburu buta biasanya muncul dari ketidakamanan dan ketidakpercayaan diri yang mendalam. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pengalaman masa lalu, kegagalan dalam hubungan sebelumnya, atau bahkan trauma emosional. 

Seringkali, cemburu buta juga dipengaruhi oleh persepsi yang salah tentang diri sendiri atau pasangan, dalam hal ini (suami-istri), serta rasa ketakutan berlebihan akan kehilangan orang yang dicintai.

Perbuatan cemburu buta yang menimbulkan dendam pribadi, hingga terjadi penusukan berdarah yang terjadi di Ngawi Jawa Timur sempat viral empat tahun yang lalu. Namun demikian, perbuatan "konyol" ini jangan sampai berulang. Memang, cemburu terhadap pasangan sangatlah wajar, akan tetapi apabila cemburu buta hingga nyaris menelan korban jiwa, itu bukan cinta, tetapi penyakit, psikopat. Hal paling tidak diinginkan adalah trauma dari istri dan anak-anaknya sendiri.

Seperti yang diberitakan salah satu media online, faktualnews.co, bahwa seorang pria, Ahmad Mujahidin Muchlis, warga Jalan Perkutut Desa Belukan-Beran, Kecamatan Ngawi, nekat menusuk Budiono, tetangganya sendiri memakai pisau dapur yang dibawa pelaku dari rumah, Minggu (12/4/2020), penusukan diduga akibat dendam pribadi. Akibat penusukan tersebut korban (Budi) menderita luka sobek di bagian perut, dan korbannya dirawat di sebuah rumah sakit di kota Ngawi.

Hebatnya, usai melakukan penusukan, Muchlis tidak melarikan diri, tetapi menyerahkan diri ke kantor Polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan menginap di hotel prodeo.

Masih dari sumber yang enggan dituliskan namanya, dari peristiwa berdarah tersebut. Istri dari pelaku ini justru difitnah "selingkuh" sama korban (Budi). Bahkan istri pelaku boleh dikatakan cantik dan sholehah ini, oleh keluarga pelaku (Muchlis) diminta bersumpah dibawah kitab suci Al Quran, oleh para pihak keluarga. 

Lantaran "Fitnah" tersebut hanya prasangka dari pihak keluarga, dia (istri pelaku penusukan tetangganya sendiri) bersedia melakukan ritual bersumpah dibawah Al Qur'an. Padahal kita ketahui bersama bahwa Fitnah lebih kejam dari membunuh?.

Dari sumber terpercaya yang saya peroleh, penusukan yang dilakukan Muchlis, karena rasa cemburu buta kepada korban yang diduga merayu istri pelaku di media sosial. 

Dari informasi, korban hanya berteman dan mengomentari postingan medsos istri pelaku, tanpa bermaksud menggoda, sebab korban sendiri (Budi) sudah beristri. Demi kebaikan bersama, maka istri dari pelaku tersebut membekukan/menghapus semua pertemanan di platform berbagai medsos. Termasuk nomor telepon penting ditempatnya bekerja pun dihapus.

Penting untuk diingat bahwa cemburu buta bukanlah tanda dari rasa cinta yang sehat, tetapi lebih merupakan "penyakit" pribadi yang harus diatasi oleh orang yang mengalaminya. Berdialog dengan psikolog salah satu solusinya, proses ini mungkin memerlukan dukungan dari orang terdekat untuk membantu mengatasi akar masalah tersebut.

Cemburu buta banyak menelan korban termasuk pasangan sendiri, istri, anak-anak, keluarga, teman-teman, dan hubungan sosial secara keseluruhan. Pasangan mungkin menjadi korban langsung dari perilaku suami yang cemburu buta, mengalami stres, kecemasan, dan ketidaknyamanan karena terus-menerus dipantau atau disalahartikan. Hal ini juga dapat mengganggu hubungan sosial pasangan, menyebabkan pasangan terisolasi dan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan teman-teman atau keluarga tanpa konflik atau kesulitan. Pada akhirnya, kita serahkan kepada pasangan tersebut, memilih bertahan atau berpisah dalam mengarungi "sakit"nya biduk rumah tangga yang selama ini mereka pupuk bersama.

Mempunyai pasangan hidup pecemburu buta. Tentu tidak nyaman rasanya, menimbulkan keresahan, ketidakamanan dan kecemasan dari anak-anak dan isteri.

Suami yang pecemburu buta akan menunjukkan beberapa perilaku yang mencerminkan ketidakamanan dan kecemasan, seperti, selalu memantau aktivitas isteri secara berlebihan, termasuk panggilan telepon, pesan teks, dan media sosial.

Selanjut, suami selalu berasumsi dan menuduh istri tanpa bukti yang jelas. Menginterogasi isteri secara terus-menerus tentang keberadaan dan siapa yang isterinya temui. Suami pecemburu buta merasa terancam atau marah ketika isteri berinteraksi dengan lawan jenis, bahkan dalam konteks yang tidak bersifat romantis. Memiliki reaksi emosional yang berlebihan atau marah ketika istri mencoba membahas atau menegaskan batasan pribadinya.

Itu tadi beberapa contoh perilaku dari suami yang mengalami kecemburuan buta. Penting untuk diingat bahwa kecemburuan buta tidaklah sehat dan dapat merusak hubungan. Komunikasi terbuka dan upaya bersama untuk memecahkan masalah bisa membantu menangani kecemburuan ini.

Selanjutnya untuk mengatasi kecemburuan buta suami, salah satu caranya bisa memerlukan komunikasi terbuka dan pemahaman yang dalam. Cobalah untuk berbicara dengan lembut: Jelaskan bahwa kepercayaan adalah pondasi hubungan dan bahwa kecemburuan buta tidak sehat.

Lalu, meski mustahil tunjukkan kejujuran tentang perasaanmu dan bagaimana kecemburuan suamimu memengaruhi kehidupan sosial pasangan dan hubungan kekeluargaan.

Kemudian jelaskan bahwa mencurigai terus-menerus tidak sehat dan tidak dapat diterima. Terkait psikologi suami yang labil, minta bantuan ahli

Dukung suami untuk mengatasi ketidakamanannya, tetapi juga tegaskan bahwa kecemburuan buta tidak dapat mengendalikan hubungan suami-istri dan pertemanan. Penting untuk diingat bahwa perubahan mungkin memerlukan waktu dan kesabaran.

Jika situasi tersebut menjadi tidak aman atau tidak sehat bagi pasangan, sebaiknya menghindari suami yang cemburu buta bisa menjadi pilihan utama. Dan tegaskan dengan jelas kepada suami bahwa perilaku cemburu buta tidak dapat diterima.


Prioritaskan keselamatan dan kesejahteraan keluarga sendiri. Jika istri merasa dalam bahaya, pertimbangkan untuk mencari bantuan dari teman, keluargamu dan lembaga yang tepat, seperti pusat bantuan korban kekerasan dalam rumah tangga.


Jika pola kecemburuan buta suami terus berlanjut dan tidak dapat diubah, pertimbangkan apakah hubungan tersebut masih sehat atau sakit bagimu.


Jika istri masih mencintai suami yang pecemburu buta dan pendendam. Sementara istrinya memilih tetap bertahan dalam hubungan tersebut, ajak suami kamu untuk berpartisipasi dalam terapi pasangan atau konseling untuk membahas masalah tersebut secara konstruktif.


Penting untuk diingat bahwa menghindari suami yang cemburu buta bisa menjadi pilihan terakhir setelah si istri mencoba berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Keamanan dan melindungi anak-anakmu dari marabahaya, menghindar atau berpisah harus selalu menjadi prioritas utama.

Thursday 2 May 2024

 


Oleh: Wilson Lalengke_


Jakarta – Napoleon bilang, “Saya lebih baik menghadapi seribu bayonet musuh daripada menghadapi satu pena wartawan”. Pemimpin Prancis yang hidup di abad 19 itu bukanlah panglima perang kaleng-kaleng alias abal-abal – meminjam istilah orang-orang PWI korup binaan Dewan Pers. Napolen Bonaparte amat terkenal hingga kini sebagai pemenang perang Eropa ratusan kali.


Pemimpin diktator Husni Mubarak dari Mesir telah membuktikan perkataan Napoleon itu. Kekuatan kekuasaan tak terbatas di genggaman tangannya tidak kuasa menyelamatkan sang Kolonel itu dari kejatuhannya hanya oleh tulisan di media sosial. Husni Mubarak yang diisyukan punya ribuan gundik usia belasan harus mati di tangan rakyatnya sendiri. Dia ditemukan terkapar bersimbah darah tak bernyawa bak anjing kurap kelaparan di gorong-gorong dalam sebuah momentum yang dinamakan Arab Spring belasan tahun lalu. Pemicunya adalah sebuah tulisan yang bertema ‘perubahan’ di Facebook.


Bahkan Bill Clinton, Presiden Amerika Serikat harus menerima nasib buruk, diberhentikan di tengah perjalanan pemerintahannya karena skandal hubungan gelapnya dengan Monica Lewinsky dibongkar habis oleh Washington Post. Media mendapatkan bahan pemberitaan dari teman Lewinsky bernama Linda Tripp. Tanpa sepengetahuan Lewinsky, Linda merekam percakapan ketika sang mantan anak magang di Gedung Putih itu menceritakan skandal seksnya dengan Bill Clinton. Tidak kurang dari 10 rekaman ‘hasil karya’ Linda Tripp yang kemudian diberikan kepada jaksa investigator Ken Starr dan dijadikan alat bukti di pengadilan.


Tindakan Linda yang merekam percakapannya dengan Lewinsky di seputaran tahun 1997-1998 itu kemudian secara luas dianggap sebagai awal lahirnya Citizen Journalist atau dibahasa-indonesiakan sebagai Pewarta Warga. Hak setiap orang untuk mengumpulkan dan menyimpan informasi atau data yang sebelumnya hanya dapat dilakukan para jurnalis mulai diakui keberadaannya. Kemampuan ini kemudian berkembang cepat kepada hak untuk mengolah informasi dan mempublikasikan melalui berbagai sarana publikasi dan media yang ada.


Suharto dan orde baru tumbang juga tidak lepas dari keberadaan pewarta warga, terutama yang berkembang di kalangan mahasiswa. Inspirasi Linda Tripp mendorong adanya gerakan berbagi informasi untuk pergantian pemerintahan di Indonesia. Informasi dikumpulkan dari para intelijen dan dibagikan secara massif oleh mahasiswa dan diviralkan di kalangan mereka, buruh, dan masyarakat umum melalui email. Hal ini kemudian yang mengkristal menjadi apa yang kita kenal saat ini sebagai Gerakan Reformasi 1998.


Secara faktual, disadari atau tidak dan diakui atau tidak, setiap perkembangan peradaban manusia, dari jaman dunia ini ada hingga kini, total jenderal semuanya ditentukan oleh eksistensi ‘wartawan’, ‘jurnalis’, ‘pembawa berita’, ‘pewarta’, ‘juru warta’, ‘penulis’, dan berbagai julukan lainnya. Merekalah sesungguhnya yang menentukan kemenangan dan kekalahan manusia dan kelompok manusia dalam mengatasi persoalan kehidupan ini. Para juru warta membawa dan/atau memberi informasi kepada masyarakat tentang segala sesuatu. Mereka hakekatnya ‘tukang cat langit’ yang memberi corak bagi dunia ini.


Saya pernah menulis, bahwa sosok nabi-nabipun sesungguhnya adalah hasil karya para pemberita di jaman itu yang kemudian diterjemahkan oleh para juru warta di jaman berikutnya dengan persepsi masing-masing. Bentuk dan macam sosok nabi-nabi tersebut yang publik terima hari-hari ini merupakan hasil kumulatif dari persepsi dan imajinasi para penulis atau pewarta dari jaman ke jaman. Oleh karena itu, dapat kita asumsikan bahwa bentuk sosok seseorang yang hidup berabad lampau bisa berbeda dengan yang kita kenal hari ini. Demikian juga, apa yang kita kenal hari ini bisa jauh berbeda pada abad-abad mendatang. Semuanya itu ditentukan oleh mereka yang disebut ‘wartawan’, yang untuk konteks 30 tahun terakhir ditambah dengan ‘pewarta warga’.


So, apa arti fenomena itu jika dihubungkan dengan judul tulisan ini? Secara singkat jawabannya adalah bahwa ‘akibat wartawan Indonesia terlibat korupsi, maka wajah Indonesia hari-hari ini dan kedepannya adalah wajah Bangsa Koruptor yang mustahil dapat dibersihkan dengan muda!’ Mengapa bisa begitu? Karena raut wajah ‘juru penerangnya’, terutama yang berbaju Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) telah berubah hitam legam penuh lumpur bercampur tahi kerbau yang busuk dan menjijikan. Bagaimana mungkin wartawan PWI bisa menjadi pemberi ‘terang’ dalam kegelapan jika ‘lampu penerang’ mereka sendiri telah padam dan mustahil bisa dihidupkan lagi?


Ibarat logika Einstein yang mengatakan sesungguhnya kegelapan itu tidak pernah ada, darkness never exists. Yang benar adalah ketiadaan cahaya terang dalam sebuah ruang, itulah yang kita sebut gelap. Maka, kealpaan atau ketiadaan juru penerang di bangsa ini merupakan kegelapan menyeramkan. Ketiadaan wartawan jujur dan amanah di negara ini merupakan lahan subur bagi setiap orang untuk tidak jujur dan amanah dalam hidupnya. Ketiadaan wartawan yang dapat menjadi contoh tauladan adalah bencana bagi bangsa Indonesia. Kehancuran moral dan ahlak wartawan adalah bahan bakar terbaik bagi percepatan kehancuran negara ini.


Skandal UKW-Gate yang bermula dari kebaikan hati Presiden Joko Widodo menggunakan tangan BUMN untuk mengucurkan dana rakyat dalam ‘amplop hibah’ ke para dedengkot koruptor PWI, Hendry Ch Bangun cs, merupakan tragedi peradaban yang dapat dipastikan membawa Indonesia kepada kehancuran. Sebagian orang dapat saja berpendapat bahwa statemen ini berlebihan, dibesar-besarkan. Namun saya pastikan bahwa orang yang berpendapat demikian itu adalah para pengikut dan atau bahkan mbah-nya para koruptor.


Pengalaman jaksa investigator Ken Starr di Amerika yang pada awalnya kesulitan membongkar kasus Bill Clinton, seketika dia berjingkrat-jingkrat ibarat tertimpa durian runtuh saat mendapatkan rekaman Linda Tripp. Demikianlah juga lembaga-lembaga pemberantas kejahatan korupsi para pejabat dan aparat di negeri ini akan mengalami kesulitan besar di saat para wartawan diam seribu bahasa karena mulutnya tersumbat uang korupsi. Apakah Anda berpikir sang koruptor Hendry Ch Bangun cs bersama Dewan Pers masih mampu bicara soal korupsi di saat diri mereka sendiri bergelimang kotoran korupsi uang rakyat? Anda pemimpi utopis di siang bolong sobat!


Korupsi adalah kejahatan luar biasa, extra-ordinary crime. Kita tidak boleh mentolerir senoktah pun tentang korupsi. Triliunan uang APBN telah dikucurkan Pemerintah ke seluruh desa se Indonesia selama 10 tahun pemerintahan Joko Widodo. Mengapa jumlah warga miskin tidak beranjak turun? Hampir pasti karena kebocoran dana-dana desa selama ini sangat besar, baik karena dikorupsi aparat desa maupun disalahgunakan oleh pengelola anggaran dana desa itu.


Keberadaan wartawan sebagai juru penerang yang sekaligus menjadi mata dan telinga pemerintah, aparat, dan masyarakat merupakan suatu keharusan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Para juru penerang itu akan memampukan setiap pengguna anggaran negara untuk berhati-hati karena mereka bekerja di bawah sinar terang, tiada tempat dan celah gelap untuk melakukan penggelapan uang negara. Mereka juga akan tahu, mengerti dan paham apa yang harus dilakukan karena ada petunjuk arah yang diberikan juru penerang.


Dalam kondisi keterhempasan organisasi wartawan korup PWI yang digawangi Hendry Ch Bangun, Sayid Iskandar, Muhamad Ihsan, dan Syarief Hidayatullah, dan kroni lainnya, plus ketiada-gunaan Dewan pecundang Pers, satu-satunya penyelamat yang tersisa adalah keberadaan para pewarta warga yang telah tumbuh massif di negeri ini. Merekalah sesungguhnya harapan peradaban bangsa yang dapat diandalkan untuk menggantikan peran para wartawan korup yang selama puluhan tahun terakhir menyalahgunakan jubah wartawan untuk ikut menjarah uang rakyat yang ada di BUMN, kementerian/lembaga negara, dan pemerintah daerah di seluruh pelosok nusantara.


Walaupun sering dipandang sebelah mata oleh banyak pihak, sesungguhnya keberadaan pewarta warga yang menyebar di setiap tempat dari pusat hingga ke pelosok desa, dusun, dan kampung adalah kekuatan yang tidak dapat dipatahkan oleh Napoleon sekalipun. Para pewarta warga siap senantiasa 24 jam, menjadi juru penerang di tempat mereka masing-masing untuk mengungkap skandal ‘Bill Clinton’, sekaligus menumbangkan si angkara murka ‘Husni Mubarak’ yang sewaktu-waktu bisa muncul di manapun di tanah air Indonesia ini. (*)


Penulis adalah Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI)

Tuesday 30 April 2024



Oleh: Sarifuddin


Palopo - Kasus korupsi yang terjadi di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ternyata nyaris mencapai kepastian, dan peristiwa itu menyadarkan kita bahwa korupsi memang sudah terstruktur dan massif di organisasi binaan Dewan Pers itu. Hal ini sebagaimana dilansir dari tulisan Abdul Aziz dari Yogyakarta yang berjudul: ‘Oknum PWI Pelaku Korupsi adalah Para Bajingan Berkedok Wartawan’.


Berdasarkan tulisan rekan Abdul Aziz tersebut, dalam tulisan ini kita akan membahas betapa bangsatnya oknum petinggi PWI. Mereka memanfaatkan jabatan untuk menjadikan dirinya seolah punya ‘kasta lebih tinggi’, dengan menjadi gerombolan koruptor dan menjual integritas kewartawanan. Kita juga akan membahas urgensi perubahan dalam organisasi dan intern Dewan Pers untuk melindungi integritas jurnalis dan kebebasan pers.


Di awal tulisannya, Abdul Aziz membuka tabir kasus korupsi yang menimpa organisasi wartawan tertua di Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tulisan itu menyadarkan kita bahwa dalam organisasi yang dibentuk untuk melindungi kepentingan umum dan menjunjung tinggi integritas jurnalis, justru ada oknum yang memanfaatkan jabatannya demi keuntungan pribadi.


Penulis merinci betapa kasta PWI seolah-olah lebih tinggi daripada para wartawan lainnya. Di beberapa dinas pemerintahan misalnya, kantor-kantor dinas memasang tulisan "Hanya Pemegang KTA PWI yang Boleh Masuk". Hal ini juga jelas terlihat dari penampilan para anggota PWI yang merasa lebih superior daripada wartawan yang tidak tergabung di PWI.


Abdul Azis mengeksplorasi fakta bahwa korupsi di tubuh PWI pusat tidak main-main, yaitu dalam jumlah bermilyar-milyar rupiah. Bahkan, dia juga menyitir bahwa para bangsat PWI ini menjadi pelindung para koruptor di berbagai level pemerintahan.


Kita melihat bahwa para oknum anggota PWI ini disebut sebagai bajingan, super bangsat, dan penghancur negara Republik Indonesia oleh masyarakat yang geram terhadap kehadirannya. Penulis memaparkan betapa para oknum anggota PWI ini hanya bersorban nama islami tetapi tidak lebih dari maling tengik.


Abdul Aziz menggambarkan figur wartawan Kompas, Hendri Ch Bangun, mantan Wakil Ketua DP yang merupakan Ketua Umum PWI, sebagai dedengkot bajingan koruptor karena terbukti melakukan kejahatan korupsi uang rakyat miliaran rupiah. Di sini, kita mengeksplorasi fakta bahwa rencana mengkorupsi uang hibah BUMN yang digawangi Erick Tohir adalah bagian dari rekayasa Ketua Umum PWI peternak koruptor Hendry Ch Bangun si dedengkot bajingan koruptor itu.


La, dalam tulisannya Abdul Aziz menegaskan urgensi perubahan dalam organisasi PWI dan pembinanya, Dewan Pers (DP). PWI dan DP harus diberantas sebagai organisasi yang telah merusak integritas jurnalis dan kebebasan pers. Penulis merujuk pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, bahwa pers bertugas memperjuangkan keadilan dan kebenaran.


Di bagian akhir, penulis itu mengajak organisasi Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) dan elemen bangsa lainnya untuk melaporkan temuan-temuan kejahatan terstruktur dan masif yang dilakukan PWI atas dana hibah BUMN. Artikel tersebut menuntut untuk mengadili dan memenjarakan para koruptor. Penulis ini menekankan bahwa Indonesia tidak boleh hanya menuntut pengembalian hasil kejahatan korupsi para gerombolan koruptor tersebut, tapi juga memproses hukum mereka semua.


Kini, hampir tak ada lagi yang dapat diharapkan dari organisasi pers uzur di Indonesia itu untuk kemajuan bangsa. Organisasi pers yang semestinya menjadi juru penerang bagi jalan sebuah bangsa telah berubah menjadi penjarah dan penggarong uang rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pada poin ini, PWI tidak lebih baik dari kelompok warga lainnya. PWI mengalami krisis integritas oleh ulah pengurus dan anggotanya sendiri. Bahkan, PWI kini berada pada kasta paling rendah dan buruk di mata masyarakat. Mereka adalah koruptor bajingan berbaju wartawan tanpa harga diri dan martabat sama sekali. (*)


Penulis adalah pemerhati masalah media dan publikasi, tinggal di Palopo